Selasa, 15 Januari 2013

Konsekuensi Hukum Mengambil Barang Temuan di Jalan

Dalam hal ini, kami berasumsi bahwa menemukan barang di jalan raya yang Anda maksud adalah menemukan dan kemudian mengambilnya untuk dimiliki. Selain itu, kami asumsikan bahwa barang yang Anda maksud adalah benda bergerak. Yang dimaksud benda bergerak adalah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan (Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”)).

Dari sisi hukum perdata, menurut Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 63-64), sebagaimana kami sarikan, pengambilan suatu benda bergerak dari suatu tempat untuk memiliki benda tersebut mengakibatkan diperolehnya bezit atas benda tersebut. Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai benda itu seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa. Bezitter (orang yang menguasai benda) ada yang merupakan bezitter dengan iktikad baik dan bezitter dengan iktikad buruk. Akan tetapi, setiap orang dianggap memiliki iktikad baik sehingga iktikad buruk harus dibuktikan (Pasal 533 KUHPer). Bezit atas suatu benda bergerak diperoleh secara dengan pengambilan barang tersebut dari tempatnya sehingga secara terang atau tegas dapat terlihat maksud untuk memiliki barang itu.
Berdasarkan Pasal 1977 ayat (1) KUHPer, mengenai benda-benda yang bergerak, orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemilik benda tersebut. Tetapi, seseorang yang merasa kehilangan barang tersebut (dalam jangka waktu tiga tahun) dapat menuntut kembali barangnya yang hilang dari orang yang menguasai barang tersebut. Orang yang menuntut kembali barang tersebut wajib memberikan penggantian kepada orang yang menguasai barang tersebut, jika orang yang menguasai ini membelinya dari tempat yang biasa digunakan untuk memperjualbelikan barang-barang tersebut (Pasal 582 KUHPer).
Di sisi lain, dari sisi hukum pidana, tindakan mengambil barang yang ditemukan di tengah jalan untuk dimiliki, bisa dijerat degan Pasal 372 KUHP (tindak pidana penggelapan) atau Pasal 362 KUHP (tindak pidana pencurian). Mengomentari Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal(hal. 258) mengatakan bahwa:
“Kadang-kadang sukar sekali untuk membedakan antara pencurian dan penggelapan, misalnya A menemukan uang di jalanan lalu diambilnya. Jika pada waktu mengambil itu sudah ada maksud (niat) untuk memiliki uang tersebut, maka peristiwa ini adalah pencurian. Apabila pada waktu mengambil itu pikiran A adalah: “uang itu akan saya serahkan ke kantor polisi” dan betul diserahkannya, maka A tidak berbuat suatu peristiwa pidana, akan tetapi jika sebelum sampai di kantor polisi kemudian timbul maksud untuk memiliki uang itu dan dibelanjakan, maka A salah menggelapkan.”
Pendapat ini juga dikemukakan oleh S.R. Sianturi, S.H., dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Sebagaimana kami sarikan, terkait Pasal 372 KUHP Sianturi (hal. 625-626), mengatakan bahwa dalam hal menemukan sesuatu benda di jalanan, di lapangan, di suatu tempat umum, dan sebagainya, mengenai hal ini perlu dinilai hubungan kejiwaan antara seseorang itu dengan barang tersebut ketika dia: menemukan barang tersebut, atau mengetahui barang yang tertinggal tersebut atau menyadari keterbawaan barang tersebut. jika pada saat seketika itu dia mengatakan: “Oh, ini rejeki nomplok, menjadilah barang itu milikku”, maka dalam hal ini dipandang telah terjadi pengambilan (pemindahan kekuasaan) yang menjadi unsur tindakan utama dari Pasal 362 (red-pasal pencurian). Tetapi, jika pada saat itu ia mengatakan: “Ah, kasihan pemilik barang itu, nanti cari-cari dia. Pada kesempatan pertama saya harus mengembalikannya”. Namun setelah beberapa hari berselang timbul keinginannya untuk memilikinya, maka yang terjadi adalah penggelapan.
Sebagai contoh kasus, Anda dapat membaca artikel Terdakwa Pencurian Sandal Divonis Bersalah. Dalam kasus ini, sebenarnya sandal yang diambil oleh terdakwa bukanlah sandal milik orang yang melaporkan perkara ini (anggota polisi Polda Sulawesi Tengah), sehingga sebenarnya sandal itu tidak jelas siapa yang memiliki. Akan tetapi, hakim tetap memutus terdakwa (sebelum putusan disebut tersangka) bersalah karena mencuri barang milik “orang lain”.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sumber : Hukum Online